Singkatan;IKRAR (Ikatan Kebajikan Rakyat)
29 APR
Semalam ibu Manohara menjadi tamu program Tukul "Bukan Empat Mata" di Trans TV. Ibu dan adik Manohara kelihatan amat seih dan berharap benar agar merka dapat berkomunikasi dengan Manohara. Rancangan ini amat berpengaruh sekalipun kelihatan lucu. Ramai penonton di studio yang menangis bila mendengar cerita beliau.
Saya rasa pelik juga dengan sikap Kerajaan Malaysia khasnya Raja-raja Melayu yang membisu seribu bahasa? Apakah ini tanda kita begitu hebat berbanding dengan rakyat Indonesia yang punya penduduk lebih 10x ganda dari kita?
Saya nak nyatakan di sini satu sahaja:
Jika tak tahu hormat orang tolong MALU aje sudah lah!!!!
Jangan jadikan senda gurau dunia..."Jangan main dengan pemimpin Malaysia...mereka ada BOM"
Nak letak muka di mana wahai malaun Melayu?? Tolong jawab!!! Atau satu ketika nanti kene baling dengan kasut pula!!
Di samping berita panas yang memalukan di atas media Indonesia masih memberi tumpuan soal pemilihan Calon Presiden dan Wakil/timbalan Calon Presiden. Tetapi ada satu hal yang lebih penting ialah indikasi yang kita lihat populariti pemimpin dari Parti Islam masih belum meyakinkan rakyat Indonesia untuk menerajui Indonesia. Ini satu cabaran dan rasanya mesti faktor kenapa ianya terjadi? Sama juga di Malaysia. Jadi para pejuang harus terus berfikir dan mencari solusi terbaik untuk memikat hati rakyat!! Yang pasti rakyat mahu lihat bukti bukan janji!!!
PB HMI Jagokan Hidayat Nur Wahid Jadi Cawapres
Kamis, 30/04/2009 16:33 WIBSebagai bentuk keprihatinan atas kemerosotan peran partai politik Islam dalam pemilu legislatif 2009 lalu, Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) mendatangi dan meminta Anggota Majelis Syuro PKS yang juga Ketua MPRRI Hidayat Nur Wahid untuk menjadi representasi sosok pemimpin Islam yang bisa membawa perubahan kepada umat Islam.
Hidayat Nur Wahid namanya disebut-sebut menjadi salah satu kandidat cawapres yang bakal mendampingi Capres Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono.
"Mencermati dinamika proses pembentukan koalisi akhir-akhir ini, tak satu pun dari Partai Islam yang maju mengambil inisiatif kepemimpinan bangsa. Partai Islam dapat dikatakan hanya sebagai pelangkap saja dari partai-partai sekuler-ngepop," kata Ketua Umum PB HMI Sahrul Efendi Dasopang, saat bertemu Hidayat Nur Wahid, di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (30/4).
Ia menilai, kemerosotan perolehan suara parpol Islam itu sendiri, disebabkan perfoma elit parpol Islam yang sudah tidak mencerminkan karakteristik partai yang berazas Islam.
"Kita masih punya harapan, kita berharap ini tidak menjadi generalisir elit politik Islam, karena yang rugi umat Islam tapi juga bangsa," jelas Syahrul.
Agar hal ini tidak merembet ke krisis kepercayaan terhadap parpol Islam, lanjutnya, perlu ada sosok yang menggambarkan sosok elit politik parpol Islam yang mengedepankan keikhlasan, istiqomah, dan sederhana.
Sementara itu, Ketua Bidang Politik PB HMI Heri Setiawan mengatakan, keprihatinan yang menimpa parpol Islam ini hendaknya disadari oleh tokoh-tokoh Islam.
"Kami mengharapkan ada deklarasi bersama untuk membangun kembali kesolidan parpol Islam dengan memilih sosok yang representasi," tandasnya.
Heri berharap sosok Ketua MPRRI Hidayat Nur Wahid membawa perubahan kepada wajah perpolitikan Islam.
"Ketika Pak Hidayat dipinang SBY bisa menjadi pasangan yang solid, bisa mempropagandalan wajah Islam yang humanis, keterbukaan dan dialogis," ungkapnya.
Dalam kesempatan itu, Hidayat Nur Wahid tidak mau terlalu dini menanggapi wacana yang berkembang. Namun, dia berharap umat Islam bisa berfikir lebih jernih dalam menentukan pilihan politiknya tidal percaya dengan fitnah.
"Saat ini ada umat mudah sekali menerima yang namanya fitnah, begitu banyak SMS yang berseliweran. Silahkan SBY memilih siapa yang akan menjadi cawapres pendampingnya dengan jernih," pungkasnya.(nov)
Indonesia’s election a triumph of pragmatism over ideology, moderate Muslims over radical Islamists
The results of this month’s legislative elections in the world’s largest Muslim-majority nation are not due until May 9. But it is already clear that Indonesia’s 100 million voters demonstrated a markedly pragmatic, non-ideological approach to politics, not least in delivering “devastating setbacks” to Islamist parties:
In broad brush strokes, what this election thus suggests about Indonesian society is that the emotional draw of ideology, religion, charismatic leadership, and social controversy has begun to decline as concerns about good governance, fiscal accountability, and government professionalism have risen. The problem that Indonesia faces no longer stems from its past social and cultural divisions. Rather, the danger at hand reflects the fragmentation of a political elite that has yet to understand the interests of voters while failing to grasp the nature of the new democratic playing field.
Analyst Richard Kraince suggest that politicians’ reactions to likely losses and to some “grave errors” by the National Election Commission will demonstrate whether “Indonesian exceptionalism” is as robust as it seems or whether the archipelago’s democracy will go the way of some of its dysfunctional neighbors.
The election results confirm that Islam and democracy are compatible, writes Ahmad Suaedy, executive director of Jakarta’s Wahid Institute. The radical Islamist parties failed because “exclusive Islamic ideologies are no longer able to meet the needs of those concerned about the existence of such Islamic parties or of those who still place hopes in the promise that ideological realization can change Indonesian state foundations.”
Yet others remain concerned that as talks to form a governing coalition continue, the mainstream parties may be tempted to strike a deal with the Islamist Prosperous Justice Party (PKS) which, though ostensibly non-violent, espouses an intolerant brand of Islam, informed by Wahhabi ideology, at odds with Indonesia’s syncretic civil Islam. Sadanand Dhume cites the “pathbreaking” new report by the Libforall Foundation which, he notes, demonstrates that the “PKS continues its effort to infiltrate mainstream Islamic organizations, and to replace Indonesia’s tolerant, homespun Islam with an arid import from the Middle East.”
The Libforall Foundation is one of the rare success stories of an initiative in which moderate and liberal Muslims - too often the silent and disorganized majority - have organized effectively to counter radical Islamist groups by promoting democracy and tolerance. “Truth, which is not organized, can be readily defeated by evil that is,” former Indonesian President H.E. Kyai Haji Abdurrahman Wahid in the Libforall report, The Illusion of an Islamic State: the Expansion of Transnational Islamist Movements to Indonesia.
The elections confirm the country’s potential as a standard-bearer for liberal democratic ideas in a region where it has recently appeared fragile and in which China represents a significant authoritarian countervailing power. “If Indonesia was to start investing in the propagation of these ideas, it could contribute to regional peace and security,” notes one observer, citing as a positive sign President Yudho-yono’s launch of the Bali Democracy Forum “aimed at enshrining democracy on the strategic agenda of Asia”.
No comments:
Post a Comment
silakan komen dan beri pandangan anda untuk kebaikan semua!!