Singkatan;IKRAR (Ikatan Kebajikan Rakyat)
16 MEI
Kesempatan berada di Indonesia selama dua minggu selepas pemilu, proses perhitungannya dan proses koalisi parti dapat saya ikuti dari dekat dengan rasa yang berbaur. Sedikit analisa singkat ini sekadar syaring dengan teman-teman di Indonesia dan juga di Malaysia.
1. Hasil pemilu yang memenangkan Parti Demokrat ada kaitannya dengan beberapa nilai tambah kepresidenan SBY, jajarannya, jangkauan network struktur rasminya, keyakinan dari beberapa individu seni (artis), program real yang telah dirasai oleh rakyat, pemberantasan korupsi dan modal kempen yang terhitung besar. Poin-poin ini sebenarnya jika dihalusi memang ada asas yang kukuh sehingga Demokrat muncul juara. Namun untuk memastikan SBY menang di pemilihan Presiden dengan hanya berharap pada gandingan calon timbalan di luar parti sebenarnya amat sukar sekiranya beberapa parti yang sedang merancang untuk berkoalisi dengannya menarik diri. Sekalipun PDIP akan bersama dengan SBY dan menyokong strategi timbalannya dari luar parti. Jadi soal menang di Presiden amat bergantung kepada sokongan semua partai yang berkoalisi. Fakta ini telah terbukti sebelumnya. Apatah lagi dengan isu terbaru Demokrat mendapat backup dari barat sebenarnya sudah cukup memberi kesan fatal kepada strategi ini. Sejarah bangsa Indonesia kukuh dan semakin kukuh kerana anti baratnya sejak dari dulu. Penyokong PDIP, PKB dan semua parti akan berp[ecah sokongan jika tidak dibetulkan persepsi publik tentang isu barat ini. Usahkan isu barat, isu Manohara sahaja rakyat Indonesia bisa marah dan berani menunjukkan sikap mereka di depan Kedutaan Malaysia. Rasanya pimpinan Demokrat tentu lebih arif dalam hal ini. Tersilap sedikit sahaja bermakna SBY akan menanggung risiko hilangnya peluang jawatan tersebut.
2. Bertambahnya golongan artis ke Parlimen menjadi sutu hal yang amat rambang keberkesananya kepada qualiti berhujah dan nilai kerja berkesan di masyarakat. Ramai yang secara terbuka masih belum yakin kemampuan mereka kerana belum teruji. Walaupun ianya menarik dan bersuasana baru dalam Parlimen tetapi ianya belum cukup pasti dari segi keberkesannnya untuk membela nasib rakyat. Dari sudut yang lain kita dapat melihat bahawa rakyat umumnya masih menunggu fatwa dari media utama yang merakyat. Jika mana-mana parti yang sanggup invest kempen iklan di TV dan radio maka potensi parti itu dipilih amat tinggi. Parti baru seperti Hanura dan Gerindra memberi testimnoni yang mengejutkan betapa iklan di TV amat berkesan sehingga mereka dapat memperoleh undian melebihi dari beberapa parti lama yang tidak mampu iklan. Jadi jika sekadar dipilih dari iklan maka itulah kualiti yang ada di Parlimen. Masalah juga?
3. Soal sikap berhati-hati dari PKS ada baiknya tetapi dalam kondisi sekarangf rasanya eluk juga PKS mencuba sebagai 'exercise' mencalonkan wakil PKS sebagai Presiden dengan koalisi baru. Jika tidak mencukupi korum 20% undian dari bebrapa parti maka status PKS lebih bersifat bebas. Jika PKS terus berpihak ke Demokrat plus PDIP juga ada bersama maka dibimbanngi isu barat akan terpalit juga walaupun sedikit. Yang pasti PKS punya makenisma sendiri dalam mengambil langkah-langkah strategis yang biasanya menguntungkan rakyat terbanyak. MOdel politik begini sebenarnya amat unik dan sepertinya sudah melekat pada tubuh PKS. Jadi sekalipun PKS berkoalisi bersama Demokrat dan isu ini berkembang ianya lebih menguntungkan Demokrat kerana secara tidak langsung imej isu barat ini dapat ditangkis dengan mudah. Maka sebenarnya pengaruh PKS dalam membawa misi umat Islam amat besar. Maka seharusnya Pak SBY memberi pertimbangan yang sewajarnya kepada PKS. Bukan bermakna parti PAN. PPP dan PKB tidak mewakili umat tetapi sehingga sekarang umunya rakyat Indonesia belum begitu yakin kerana testimoni selama ini dari parti-parti tersebut belum begitu kuat.
4. Soal SBY dan Demokrat jika terus melaksanakan agendanya juga memberi implikasi politik yang bermacam. Terutama kepada penyokong parti-parti yang kecewa. Apakah ianya tidak cukup untuk membuat SBY berfikir 100 x?
Beberapa idea dari editor eramuslim....
Lokomotif, Yang Ingin Menarik Gerbong Panjang?
Senin, 11/05/2009 12:07 WIBPresiden SBY membatalkan pendeklarasian cawapres yang akan mendampinginya dalam pilpres Juli nanti, yang rencananya akan dilaksanakan di kota Bandung, Senin ini. Pembatalan itu dilakukannya, usai Presiden SBY melakukan pertemuan dengan jajajaran pimpinan Partai Demokrat. Presiden SBY sebagai lokomotif, sudah berhasil menarik ‘gerbong’ yang panjang melalui ‘koalisi’, seperti dengan Partai PKS, PAN, PPP dan PKB.
Gabungan ‘koalisi’ Demokrat (148 kursi), PKS (59 kursi), Pan (42 kursi), PPP (39 kursi) dan PKB (26 kursi), jumlahnya sudah 314 kursi, setara dengan 56%. Artinya, posisi Presiden SBY, kalau terpilih pada pilpres Juli nanti, posisinya di parlemen akan mendapat dukungan yang kuat. Presiden SBY dapat menjalankan pemerintahannya dengan stabil, dan dapat mengambil keputusan secara efektif, karena besarnya dukungan di parlemen. Tapi, mengapa Presiden SBY masih ragu dan menunda pengumuman atau pendeklarasian cawapres, yang menurut rencana semula, di hari Senin ini?
Nampaknya, SBY masih ingin menarik ‘gerbong’ baru, yaitu PDIP, masuk ke dalam koalisi, yang sekarang sudah ada. Presiden SBY mempunyai obsesi di pilpres nanti, hanya ada dua kekuatan politik, yang akan bertarung, yaitu Presiden SBY yang didukung PDIP, dan partai-partai Islam dan berbasis Islam, seperti PKS, PAN, PPP, dan PKB, yang berhadapan dengan pasangan Jusuf Kalla dan Jendral Wiranto, yang didukung Golkar dan Hanura, serta partai-partai kecil lainnya. Pilpres Juli nanti polarisasinya kemungkinan hanya antara Blok SBY dengan JK.
Presiden SBY dengan menggunakan seorang kepercayaannya, Mensesneg Hatta Rajasa, yang dikenal sebagai ‘lobbyist’ dan ‘play maker’ politik yang ulung, dimainkan untuk mendekati PDIP, melalui Mega dan Taufik Kemas, kemungkinannya PDIP akan ditarik menjadi ‘gerbong’ panjang. PDIP sendiri, terutama dengan keputusan Munasnya, serta deklarasinya, yang mencalonkan Mega, sebagai Capres, nampaknya tak bakal terwujud. Pasalnya, Suara PDIP hanya (93 kursi) di perlemen atau setara 14.5%, dibawah Golkar. Sementara itu, ketika ada usaha menggandeng Letjen Prabowo Subianto dari Gerindra, partai ini memasang ‘call’ sangat tinggi, dan ingin memposisikan dirinya sebagai ‘capres’, dan menolak untuk menjadi wakilnya Mega. Maka, sampai disini jalan itu menjadi buntu.
Disinilah, peran yang dilakukan Hatta Rajasa, yang menjadi kepercayaan Presiden SBY mendapatkan ‘gayung’ bersambut, dan Taufik Kemas, yang menjadi suami Mega, akhirnya menjadi realistik, melihat posisi politik PDIP, yang tidak mungkin dipaksakan naik keatas, dan Mega secara perlahan-lahan akan berakhir karir politiknya, dan bersamaan dengan sikap PDIP, yang akan memutuskan tidak ikut pilpres, dan bergabung dengan Demokrat dan mendukung SBY. Dan, mungkin hubungan Taufik Kemas dan Hatta Rajasa, yang sama-sama ‘Wong kito galo’ (Palembang) akan mencapai puncak ‘emosionalnya’, kalau keduanya berhasil membawa gerbong PDIP menjadi bagian dari lokomotifnya SBY. Begitulah politik. Tentu, yang ada hanya kepentingan. Siapa mendapatkan apa. Sebuah rumor,yang bererdar, konon, PDIP akan dibarter dengan 7 portofolio (menteri) dalam kabinet Presiden SBY mendatang (kalau terpilih), dan Tuafik akan didukung menjadi Ketua MPR.
Presiden SBY sebagai lokomotif akan menarik gerbong panjang, yang terdfiri dari Partai PKS, PAN, PPP, PKB dan PDIP. Inilah sebuah episode politik baru di Indonesia. Lima tahun kedepan. Apakah semuanya akan seperti skenario yang diinginkan oleh sang ‘sutradara’ yang sekarang sedang memainkan ‘wayang’ sesuai dengan lakon yang diinginkannya?
Tinggal, persoalannya, siapa yang menjadi ‘second layer’ atau orang kedua mendampingi SBY? Hatta atau Budiono? Menurut sebuah sumber di PDIP, kalangan elit partai berlambang ‘Banteng’ itu menginginkan yang menjadi cawapresnya SBY bukan Hatta, tapi Budiono, yang ekonom, karena ketika Mega menjadi presiden ia menjadi menteri keuangan, dan dinilai sukses mengatasi krisis ekonomi. Jadi, segalanya tidak ada yang berubah secara mendasar, ketika melihat kehidupan politik di Indonesia, saat ini dan masa mendatang.
Tentu yang tetap menarik dan tak pernah berubah, berkaitan kearah mana kebijakan ekonomi dan politik di Indonesia ini di masa mendatang? Dapat dipastikan nanti, yang akan mengendalikan ekonomi Indonesia, mereka yang mempunyai hubungan atau lobby dengan Washington, dan kebijakannya tetap mengacu pada ekonomi liberal, yang pro-pasar, dan tidak berpihak kepada ekonomi rakyat, dan sektor riil. Serta semakin kuat pengaruhnya Barat melakukan penetrasi ke dalam kepentingan nasional Indonesia.
Lengkap sudah. Partai-partai Islam dan berbasis massa Islam (PKS, PAN, PPP, dan PKB) bergabung dan menjadi komplementer bagi partai-partai sekuler, seperti Demokrat dan PDIP, masuk dalam barisan gerbong panjang, dan akan ditarik oleh lokomotif, yang menjadi masinisnya Presiden SBY untuk mendukung kepentingan Barat di Indonesia. Wallahu’alam.
Info terbaru dari Pikiran Rakyat...
Pilih “Istri” tidak Perlu yang Cantik
Jum'at, 15 Mei 2009 , 15:21:00
JAKARTA, (PRLM).- Partai Demokrat memastikan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Boediono akan dideklarasikan sebagai calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres). Partai Demokrat mengesampingkan beberapa partai pendukung koalisi maupun sejumlah aksi massa yang terkesan menolak kandidat cawapres dengan alasan Boediono seorang neoliberalis.
Ketua DPP Partai Demokrat Bidang Politik, Anas Urbaningrum mengibaratkan pasangan capres dan cawapres sebagai pasangan suami istri. Seorang suami kadang-kadang harus memilih calon istri yang tak terlalu cantik. Ada juga seorang suami yang enggan memilih istri dari kalangan yang terkenal.
"Kadang-kadang kita harus memilih calon istri yang tidak terlalu cantik dan tidak amat populer. Yang lebih penting adalah `tawaddlu` dan mampu mengurus rumah tangga dengan baik," katanya kepada “Antara”, Jumat (15/5).
Partai Demokrat mendeklarasikan calon presiden (capres)- cawapres yang diusung partainya, yakni Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono (Boed), di Bandung, Jumat malam.
Dua partai pendukung koalisi yang dibangun Partai Demokrat, yakni Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Amanat Nasional (PAN), belum bisa diyakinkan oleh kubu SBY sehubungan pilihannya menjadikan Boediono (kini masih menjabat Gubernur Bank Indonesia) sebagai Cawapres. (A-147)***