foto-foto aktiviti dakwah dan kemanusiaan

foto-foto aktiviti dakwah dan kemanusiaan

Friday, June 19, 2009

APAKAH KONDISI SEHINGGA KITA BOLEH MINTA BANTUAN DENGAN BUKAN MUSLIM..?? ..pandangan Hasan Albanna

HR9808@IKRAR - adalah wadah bebas bukan partisan yang memfokus kepada kebajikan rakyat.
Singkatan;IKRAR (Ikatan Kebajikan Rakyat)

"REFORMIS BUKAN HANYA GELARAN ATAU PEJUANG YANG BERJUANG KERANA MENGHARAPKANNYA!"

19 JUN

Semoga bahan ini boleh menjadi kayu ukur untuk kita bersikap dengan musuh politik.....Jangan sampai sikap kita boleh merugikan umat..!!!

Isti'anah (Minta Bantuan) kepada Non Muslim

Jumat, 12/06/2009 14:01 WIB
Imam Hasan Al-Banna membolehkan permohonan bantuan dan kerjasama pemerintahan Islam dengan non-Muslim bila telah memenuhi dua syarat.

Dari Buku: Fikih Politik Menurut Imam Hasan Al-Banna.

Penulis: Dr. Muhammad Abdul Qadir Abu Faris.


Imam Hasan Al-Banna membolehkan permohonan bantuan dan kerjasama pemerintahan Islam dengan non-Muslim bila telah memenuhi dua syarat berikut:

a. Dalam kondisi gawat darurat (emergensi)
b. Non-Muslim tersebut tidak diizinkan menduduki jabatan-jabatan strategis yang mengurus kepentingan publik.

Imam Hasan Al-Banna menyampaikan di sela-sela dialog seputar pemerintahan Islam, bahwa tiada halangan bagi pemerintahan Islam untuk mengajukan permohonan bantuan dan kerjasama dengan non-Muslim selama berada dalam kondisi emergensi dan non-Muslim tersebut tidak menduduki posisi-posisi strategis yang mengatur masalah publik dan khalayak ramai. Posisi dan jabatan strategis yang mengatur urusan publik dalam Islam banyak sekali. Di antaranya, peradilan dan kehakiman yang mencakup peradilan militer, tindak pidana maupun perdata, lalu jabatan kepala pemerintahan, kepala-kepala daerah, kepala departemen perhajian, kepala departemen perpajakan, kepala departemen jihad, kepala departemen zakat, waqaf, infak dan shadaqah, kepala bagian harta rampasan perang dan sebagainya.

Tanggapan penulis, bahwa Imam Hasan Al-Banna menetapkan dua persyaratan bila sebuah pemerintahan Islam harus meminta bantuan dari non-Muslim dalam suatu perkara tertentu. Dua syarat tersebut adalah kondisi gawat darurat dan tidak terkait dengan departemen-departemen yang mengurus masalah publik. Yang termasuk dalam kategori kondisi gawat darurat adalah kepentingan-kepentingan yang menyangkut kelangsungan hidup manusia, kepentingan-kepentingan yang membantu terealisasinya perlindungan terhadap lima (5) objek kajian pokok syariat Islam yaitu perlindungan terhadap agama, jiwa, aset kekayaan, keturunan dan akal. Karena hilangnya perhatian terhadap kepentingan-kepentingan tersebut akan berakibat pada terhambatnya perjalanan kehidupan ideal sesuai keinginan hukum langit serta akan menimbulkan kondisi yang tidak kondusif, kekacauan, pertumpahan darah, peperangan dan sebagainya.

Bila terjadi kekosongan dalam jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan Islam, sementara tidak ada seorangpun dikalangan umat Islam yang bisa mengisi kekosongan posisi tersebut dan kekosongan itu hanya bisa ditempati oleh pakar non-Muslim, maka pada kondisi ini boleh mempekerjakan non-Muslim karena alasan emergensi. Karena ada sebuah kaidah ushul fiqih yang terkenal:

الضَّرُوْرَاتُ تُبِيْحُ الْمَحْظُوْرَاتِ

Artinya: kondisi darurat membolehkan perkara-perkara yang sebelumnya terlarang.

Maksudnya, dalam kondisi normal, kebijakan meminta bantuan dari non-Muslim adalah sebuah keharaman dan merupakan kebijakan yang tidak bisa dilegitimasi. Namun karena kondisi darurat, maka kebijakan tersebut menjadi boleh. Tapi perlu diingat, menilai satu keadaan sebagai kondisi darurat harus secara benar pula. Oleh karena itu, Umar bin Khattab menolak kebijaksanaan seorang gubernur bernama Abu Musa Al-Asy’ary ketika Beliau menunjuk seorang sekretaris yang beragama Kristen dan memerintahkan Abu Musa untuk segera memecatnya. Abu Musa angkat bicara: Wahai Amirul Mukminin, Bashrah membutuhkan keahliannya? Lalu Umar menjawab: Sudahlah, biarkan sajalah dia dan cari gantinya dari kalangan Muslim. Dari peristiwa ini dapat kita lihat bahwa Umar bin Khattab tidak menganggap pengangkatan seorang sekretaris dari kalangan non-Muslim sebagai sebuah keharusan dan kondisi darurat .

Dalam Al-Qur`an dan Sunnah banyak ditemukan teks-teks seirama yang menyatakan secara tegas pelarangan meminta bantuan dari kalangan musyrikin baik orang Kristen, Yahudi maupun Paganis. Allah berfirman dalam Qur‘an surah Ali Imran ayat 118:

(يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لاَ تَتَّخِذُوْا بِطَانَةً مِنْ دُوْنِكُمْ لاَ يَأْلُوْنَكُمْ خَبَالاً وَدُّوْا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِى صُدُوْرُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ اْلآيَاتِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُوْنَ) [آل عمران: 118]

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.

Disebutkan dalam tafsir Ibnu Katsir bahwa Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dengan sanadnya dari Abi Dahqanah ia berkata: Dikatakan pada Umar bin Khattab ra bahwa di sini ada seorang pemuda dari Hirah, ia seorang penghafal dan penulis. Bagaimana kalau kita angkat saja ia sebagai sekretaris? Umar menjawab: Jikalau engkau mengangkatnya jadi sekretaris berarti engkau telah mengangkat orang kepercayaan dari kalangan non-Muslim .

Setelah menyebutkan ayat dan atsar di atas, Ibnu Katsir melanjutkan bahwa dalam atsar dan ayat ini terdapat dalil yang mengindikasikan larangan mempekerjakan seorang ahli dzimmah sebagai sekretaris. Hal ini merupakan kebijakan preventif agar non-Muslim tersebut tidak dijadikan perpanjangan tangan oleh para musuh Islam yang tidak senang terhadap agama ini untuk menggali dan mengorek informasi mengenai masalah-masalah internal dan titik-titik lemah umat Islam. Sebagaimana firman Allah di atas:

(لاَ يَأْلُوْنَكُمْ خَبَالاً)

Artinya: (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu.

Selain itu, Al-Qurthuby juga mengingkari kebijakan para penguasa di zamannya yang mempercayakan non-Muslim dari kalangan Ahli Kitab sebagai sekretaris yang mengurus permasalahan administrasi negara. Sebagai lanjutan dari tafsir ayat di atas dan atsar yang diriwayatkan Ibnu Katsir, Beliau menambahkan: “Sungguh telah terjadi perubahan mendasar dalam tren zaman sekarang, yaitu ketika para Ahli Kitab diangkat menjadi sekretaris negara dan tangan kanan penguasa, dan yang lebih anehnya tindakan ini telah membudaya di kalangan kaum elite dan para penguasa” .

Posisi dan jabatan strategis yang mengatur urusan publik dalam Islam mencakup pemerintahan, peradilan dan kehakiman serta para penguasa, Al-Mawardi menulis dalam bukunya Al-Ahkam As-Sulthaniyyah wa Al-Wilayaat Ad-Diniyyah bahwa klasifikasi jabatan-jabatan strategis yang mengatur urusan publik itu seperti: Departemen Urusan Jihad, Kepolisian, Departemen Kehakiman, Kepala-Kepala Daerah, Departemen Kependudukan, Perpajakan, Departemen Zakat, Waqaf, Infak dan Shadaqah, Departemen Urusan Harta Rampasan Perang dan sebagainya. Kesemua jenis jabatan tersebut tidak boleh dipangku oleh non-Muslim.

KHUTBAH MINGGUAN - "Kaedah Memilih Pemimpin menurut Islam"

HR9808@IKRAR - adalah wadah bebas bukan partisan yang memfokus kepada kebajikan rakyat.
Singkatan;IKRAR (Ikatan Kebajikan Rakyat)

"REFORMIS BUKAN HANYA GELARAN ATAU PEJUANG YANG BERJUANG KERANA MENGHARAPKANNYA!"

19 Jun

Kaedah Memilih Pemimpin

17/6/2009 | 23 Jumadil Akhir 1430 H | Hits: 559
Oleh: Tim dakwatuna.com
Diadun semula: PADI (pusat dakwah dan tarbiah Ikrar)

الْحَمْدُ للهِ الَّذِي يُنِيْرُ بِالْهُدَى دُرُوْبَ الْمُؤْمِنِيْنَ، أَشْهَدُ أَنْ لاَّ إِلَهَ إِلاَّ اللهِ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، الْمَبْعُوْثُ رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ. اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ. أَمَّا بَعْدُ، فَيَاأَيُّهَاالْحَاضِرُوْنَ أُوْصِى نَفْسِى وَإِيَاكُمْ بِالتَّقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ. فَقَدْ قَالَ اللهُ فِي تَنْـزِيْلِهِ:
أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ، وَاعْلَمُوا أَنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلادُكُمْ فِتْنَةٌ وَأَنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ

Hadirin Jama’ah Shalat Jum’at yang berbahagia,

Arti dari ayat yang baru saja kita dengar adalah:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui. Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai fitnah (cobaan) dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar” (QS. Al-Anfal: 27-28)

Kedua ayat ini, zahirnya, berisi larangan kepada orang-orang yang beriman agar tidak mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadanya, dan sejatinya harta dan anak-anak kita adalah bagian dari amanat tersebut yag tak boleh kita sia-siakan, jika kita benar-benar berharap pahala yang besar di sisi Allah swt. Yang sungguh menarik, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah – rahimahuLlah - berargumen dengan ayat ini atas kewajiban setiap orang yang memiliki kewenangan memilih pejabat, baik pejabat eksekutif, legislatif maupun yudikatif, bahkan pejabat militer dan lainnya, agar tidak gegabah dalam menentukan pilihannya. Orang yang memiliki kewenangan untuk memilih pejabat, hendaknya ia memilih orang yang terbaik dan paling tepat untuk jabatan yang akan diembannya, dari sekian banyak kandidat yang ada. Barangsiapa yang memberikan jabatan kepada seseorang semata-mata didasari atas relasi kekerabatan, nasab, teman, suku, ras, aliran atau karena disuap dengan harta atau keuntungan lainnya, atau karena ketidaksukaannya kepada orang yang semestinya berhak menerima jabatan tersebut, maka ia telah mengkhianati amanat Allah, Rasul dan orang-orang yang beriman (as-Siyaasah asy-Syar’iyah: 14).

Ibnu Taimiyah melanjutkan, biasanya, seseorang karena motivasi kecintaan kepada anaknya, maka ia memilihnya atau memberinya sesuatu yang bukan haknya. Ada juga orang, yang karena ingin menambah kekayaan atau demi mengamankan usahanya ia berkolusi untuk jabatan-jabatan tertentu. Orang yang berlaku demikian, kata ulama yang lebih dikenal dengan syaikhul Islam ini, telah mengkhianati Allah dan Rasul-Nya, juga mengkhianati amanat yang dipercayakan kepadanya (ibid. hal: 15).

Hadirin Jama’ah Jum’at yang dimuliakan Allah,

Menurut jumhur (mayoritas) ulama dari berbagai mazhab Islam, bahwa memilih pemimpin atau mengangkat pejabat untuk suatu jabatan tertentu demi kemaslahatan kaum muslimin, hukumnya adalah wajib (al Imamah, al Aamidy: 70-71). Karena keberadaan seorang pemimpin, dalam pandangan Islam, berfungsi untuk menegakkan agama Allah serta untuk menyiasati dan mengatur urusan duniawi masyarakat dengan mengacu kepada agama (Muqadimah Ibnu Khaldun: 211).

Lebih tegas lagi, Imam Ibnu Taimiyah menyatakan, bahwa fungsi jabatan apapun di dalam Islam bertujuan untuk amar ma’ruf nahi munkar. Hal ini berlaku untuk jabatan tertinggi dan jabatan tinggi negara, seperti presiden, panglima perang, kepala kepolisian, direktur bank dan lain sebagainya., sampai jabatan terendah seperti pimpinan rombongan dalam sebuah perjalanan. (al Hisbah: 8-14).

Jabatan merupakan amanah yang harus ditunaikan sebaik-baiknya karena ia akan dipertanggungjawabkan di dunia kepada rakyat, dan kepada Allah kelak di akhirat. Rasulullah saw. pernah mengingatkan Abu Dzar ra. yang sempat meminta jabatan. Beliau katakan, “Sesungguhnya jabatan ini adalah amanah dan sesungguhnya di akhirat akan menyebabkan kekecewaan dan penyesalan, kecuali bagi yang berhak menerimanya dan mampu menunaikan tugas sebagaimana mestinya” (HR. Muslim, no:1826).

Hadirin Jama’ah Jum’at yang dimuliakan Allah,

Terdapat beberapa indikator di dalam Al-qur’an, sebagai acuan kita dalam memilih pemimpin. Pertama, bahwa seorang kandidat harus memiliki track record yang baik sebelum ia diangkat sebagai pemimpin, ia memiliki misi dan visi yang mulia untuk menyelamatkan bangsanya dari keterpurukan dan keterbelakangan di segala sektor kehidupan. Hal ini diisyaratkan ketika Allah swt. mengangkat nabi Ibrahim as. sebagai pemimpin bagi seluruh manusia, karena prestasinya yang luar biasa dalam menunaikan misi yang diembannya. Ibrahim dinilai berhasil dalam berdakwah menegakkan tauhid dan mengembalikan loyalitas dan kepatuhan manusia kepada aturan Allah semata. Sejak remaja, ketika ia berhasil menumbangkan berhala-berhala lalu ia dibakar hidup-hidup, hingga usianya yang senja, ketika diuji agar menyembelih putranya, Ismail, dan membangun Ka’bah sebagai lambang kemurnian tauhid, Ibrahim tetap konsisten dalam memegang idealismenya, yakni membawa misi dakwah kerahmatan untuk alam semesta. Namun ketika Ibrahim memohon agar Allah berkenan mengangkat anak keturunannya sebagai pemimpin seperti dirinya, Allah pun menjawab, bahwa tidak boleh orang-orang yang zalim duduk di atas kursi kekuasaan (QS. Al-Baqarah: 124). Karena yang paling berhak menjadi pemimpin hanyalah orang-orang yang shaleh (QS. Al-Anbiya: 105). Tampilnya orang-orang zalim di atas panggung kekuasaan, lebih dikarenakan lemahnya orang-orang shaleh. Tepatlah ucapan khalifah Umar bin Khatthab ra. dalam sebuah do’anya, “Ya Allah, ku mengeluh kepada-Mu, mengapa sang pendosa memiliki kekuatan sedang orang yang terpercaya seringkali lemah” (al Hisbah: 15).

Kedua, kita harus mengangkat pemimpin yang seiman. Allah berfirman, “Janganlah orang-orang beriman mengambil orang-orang kafir sebagai wali (pemimpin, teman dekat, pelindung) dengan meninggalkan orang-orang beriman. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka..” (QS. Ali Imran: 28).

Ketiga, memilih pemimpin juga harus memperhatikan asal-usul kelompok, partai, dan relasi-relasi dekat sang kandidat. Karena betapapun bersih dan keshalihan sang calon, apabila ia berada dalam lingkaran pertemanan, kelompok atau partai yang busuk, lambat laun keshalihannya akan terkikis dan keberadaannya justeru akan dimanfaatkan oleh kelompoknya demi menjustifikasi prilaku menyimpang mereka. Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya menimbulkan kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi”. (QS. Ali Imran: 118).

Keempat, pemilih juga harus jeli melihat motivasi sang calon. Orang yang ambisius dalam mencari jabatan tidak layak untuk diberi kepercayaan untuk menjadi pemimpin. Di antara indikasinya, jika ia menempuh segala jalan dan menghalalkan semua cara untuk mendapatkan jabatannya, di antaranya menyuap (money politic), memalsukan berkas-berkas pencalonan dan sebagainya. Ketika berhasil menjabat, orang demikian, tidak akan segan-segan melakukan praktek kotor, demi mengeruk kekayaan pribadi sebesar-besarnya, sekalipun dengan melanggar HAM atau merusak flora dan fauna. Firman Allah, “Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan ia mempersaksikan kepada Allah atas (ketulusan) isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang paling keras. Dan apabila ia berkuasa, maka ia berjalan di muka bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kerusakan” (QS. Al-Baqarah: 204-205).

Hadirin Jama’ah Jum’at yang dimuliakan Allah,

Selain itu, masih terdapat indikator-indikator lain dalam memilih pemimpin dalam Alqur’an, seperti ia harus mempunyai intergritas keilmuan yang terkait dengan kepemimpinannya, sehat jasmani-ruhani dan sebagainya. (QS. Al-Baqarah: 247 dan Al-Qashash: 26).

Di alam demokrasi, seperti di negeri ini, di mana kedaulatan dalam memilih pemimpin dan wakil rakyat di lembaga-lembaga perwakilan, baik pada tingkat nasional maupun lokal, berada di tangan setiap individu, kita selaku umat berkewajiban memilih calon wakil dan kandidat pemimpin yang shalih, bersih KKN, memiliki integritas agama, keilmuan dan moralitas yang baik, sesuai dengan petunjuk Alqur’an. Kita wajib memberikan dukungan kepada calon pemimpin yang shaleh yang memiliki visi dan misi dakwah rahmatan lil-‘alamin, agar ia mendapatkan kekuatan secara konstitusional sebagai pemimpin negeri ini. Jika tidak, maka kita bakal diperintah oleh sekelompok orang yang tak segan-segan menyengsarakan umat dan bangsa ini ke depan. Na’udzu biLlah min dzalik.

بَارَكَ اللهُ لِي وَلَكُمْ فِى القُرْآنِ العَظِيْمِ، وَنَفَعَنِي وَإِيَاكُمء بِمَا فِيْهِ مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ أَقُوْلُ قَوْلِى هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِي وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ